Muhammad Rahmat Kurnia
“Sekarang sedang terjadi kapitalisasi isu kekerasan untuk memojokkan ormas-ormas Islam. Pada sisi lain, kini tengah terjadi pula penyebaran agama secara provokatif yang memancing masyarakat sebagaimana kasus yang terjadi di Bekasi”. Begitu, diantara ungkapan KH. Ma’ruf Amien dalam acara forum ukhuwah Majelis Ulama Indonesia Pusat menjelang Idul Fitri 1431H kemarin.
Apa yang diungkapkan Kiyai Ma’ruf, tentu bukan tanpa realitas. Setidaknya ada tiga persoalan actual yang dihadapi umat Islam saat ini. Pertama, kasus Ahmadiyah. Beberapa waktu lalu, terjadi kerusuhan di Manis Lor, Kuningan. Pihak-pihak yang membenci Islam mengeksploitasi ini sebagai kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Padahal, realitas menunjukkan bahwa merekalah yang memprovokasi. Buktinya, mereka sudah menyiapkan banyak kerikil untuk melempar dan sudah siap dengan mengenakan helm. Artinya, pihak Ahmadiyah dan kalangan liberal sudah merencanakan untuk melakukan hal ini. Sekretaris MUI, Amirsyah (4/9/2010) menyampaikan bahwa pimpinan Ahmadiyah mengaku siap untuk membenturkan antarumat Islam.
Kedua, isu kerukunan. Yang terakhir adalah isu Bekasi dimana kata mereka terjadi tindak kekerasan, lalu penusukan seorang pendeta. Isu tersebut mereka kapitalisasi. Padahal, realitasnya tidaklah demikian. “Warga keberatan karena pada hari Minggu, motor maupun kendaraan lain dari jemaat sering membuat macet,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Timur Pradopo. Provokasi tampak saat jemaat HKBP tetap melakukan konvoi tanggal 15 Agustus, 22 Agustus, dan 5 September padahal pihak kepolisian sudah memperingatkan bahwa hal itu akan menimbulkan gesekan sosial. Mereka menuding kelompok Islam tertentu yang melakukannya. Ternyata, Pendeta Damin Demantra, dalam salah satu wawancara TV swasta mengatakan bahwa setelah dia mengklarifikasi kepada ormas tersebut, ternyata tidak benar apa yang dituduhkan tersebut.
Terus digembar-gemborkan bahwa Ahmadiyah dan Kristen dizhalimi, kebebasan beragama tidak ada lagi. Puncaknya adalah acara kebaktian di depan istana Negara yang dihadiri oleh tokoh-tokoh mereka seperti Frans Magnis Suseno, Romo Beni, dll. Apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah penyebaran agama yang provokatif dan tentu saja ini melanggar SKB. Dari dulu, mereka memang tidak setuju dengan SKB karena mereka ingin menyebarkan agama secara provokatif dan mengembangkan liberalism dan pluralisme.
Untuk itu, mereka melakukan dua langkah untuk merubah SKB. Langkah pertama, melakukan yudisial review UU PNPS No.1/1965 beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, UU tersebut merupakan satu-satunya dasar bagi SKB. Bila, UU tersebut dicabut maka SKB pun tidak memiliki dasar sama sekali. Hilang. Itulah sebabnya, HTI turut menjadi pihak terkait dalam melawan yudisial review beberapa waktu lalu itu. Dan Alhamdulillah, berhasil. Setelah itu gagal, mereka menempuh langkah agar SKB dihilangkan. Mensikapi hal ini menarik apa yang disampaikan KH. Athian Ali Da’I “Ya, kalau mereka mau, hapuskan saja SKB itu. Kita selama ini tidak dapat berdakwah kepada orang-orang nonMuslim karena mentaati SKB ini. Kalau memang itu yang mereka kehendaki, mungkin bagus, kita akan datangi pintu-pintu mereka, kita dakwahi mereka. Bila masalah muncul, kita selesaikan saja di lapangan.” Namun, nampaknya mereka tahu itu. Mereka tidak akan berani menuntut penghapusan SKB. Kini, mereka sedang berusaha untuk merubah isi SKB tersebut demi kepentingan mereka. Lobi kesana kemari telah dilakukan. Kepala Bimbingan Masyarakat Departemen Agama, Nasharudin Umar berulang kali menegaskan tentang pentingnya revisi isi SKB tersebut.
Ketiga, isu pembubaran Ormas. Mereka tidak berhenti sampai di situ. Mereka mengeksploitasi isu kekerasan ini untuk membubarkan ormas Islam. Arah dari Departemen Dalam Negeri maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang menuju pada pembubaran Ormas yang dianggap bermasalah. Karenanya, isu pembubaran ormas melalui perubahan UU keormasan perlu dicurigai. Ketua Komisi II, Chairuman, yang membidangi hal ini pernah menyampaikan isu UU Ormas ini perlu dicermati. Tampak bahwa ada kegusaran dalam dirinya bahwa banyak anggota DPR yang menyerukan ini. Tidak heran, karena kelompok mereka memang yang menggalang hal tersebut. Termasuk kelompok yang ramai dibicarakan sebagai pengusung komunisme baru.
Hal lain yang penting dicatat, pada 1 Oktober 2010, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Taufik Kiemas, akan mengundang eks PKI ke gedung MPR dalam kedudukan mereka sebagai korban peristiwa 1965. Padahal, belum hilang dari ingatan peristiwa 45 tahun lalu, tepatnya 12 Januari 1965. Saat itu, para peserta training Pelajar Islam Indonesia (PII) sedang menunaikan shalat shubuh di Desa Kanigoro, Kediri, mereka diserbu ribuan PKI dan al-Quran pun diinjak-injak. Kalau benar-benar terjadi, sungguh hal ini merupakan tusukan yang melukai jiwa dan iman umat Islam.
Sejak lama demikian jelas bahwa mereka adalah perpaduan antara kelompok kiri, liberal, dan non Muslim yang antiIslam. Mereka dibackup oleh asing baik konsep, dana, jaringan, maupun power. Pada saat berbicara kepentingan masing-masing mereka seringkali bertikai. Namun, ketika menghadapi Islam, mereka bersatu padu. Ringkasnya, berbagai upaya untuk menjegal tegaknya syariah terus dilakukan oleh pihak antiIslam. Namun, apapun makar yang mereka lakukan terhadap Islam dan umatnya hanya akan menjadi kuburan kehancuran bagi mereka sendiri. Allahu Akbar wa lillahi alhamdu.[]
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2010/09/21/agenda-terselubung-dibalik-bentrok-umat-islam-bekasi-vs-hkbp/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar